Menapak Jejak Mengenal Watak

Judul Buku : Menapak Jejak Mengenal Watak
Penerbit : Yayasan Saifuddin Zuhri


PENGANTAR

Oleh KH. A. Mustofa Bisri

SUATU malam di tanah suci pada tahun 1987, saya bersama kiai Sahal Mahfudz, Gus Dur, dokter Fahmi Saifuddin, dan Abdullah Syarwani, sowan dengan niat sulaturrahim dan ngaji ke kediaman tokoh alim dan penulis kenamaan di Timur Tengah berkebangsaan Indonesia, asy-al-Makky, rahimahullah.

Di antara yang menjadi pembicaraan dalam kesempatan silaturrahim itu adalah mengenai tokoh-tokoh ulama Indonesia yang menurut Syeikh Yasin―begitu panggilan akrab tokoh yang sangat dihormati ini―kualitas keulamaan mereka tidak banyak dikenal di dunia Islam karena tidak ada yang memperkenalkan mereka. Tulisan tentang mereka hampir tak ada.

Syeikh Yasin sendiri mempunyai rencana menu­lis Thabaqaat al 'Ulama al-Indonesia. Kitab tentang tokoh-tokoh ulama Indonesia. Bahkan satu jilid di antaranya telah rampung beliau tulis.

Namun ya itu, kata beliau, "kesulitannya adalah memperoleh bahan-bahan bagi penulisan tokoh-tokoh kiai tersebut. Dari kalangan pesantren sendiri, jarang sekali dijumpai tulisan tentang tokoh ulama".

"La coba saja," kata beliau, "anak-anak mereka sendiri dimintai bahan tentang orang tua mereka, nggak kunjung mengirimkannya!"

Memang. Entah mengapa budaya menulis, khususnya menulis sejarah kehidupan tokoh-tokohnya sendiri tidak berkembang di kalangan pesantren. Padahal semua menyadari pentingnya. Padahal khazanah mereka sarat dengan kitab-kitab tarikh kehidupan tokoh, baik tentang seorang tokoh maupun tentang sejumlah tokoh macam taraajim dan thabaqat-thabaqat.

Buku atau kitab tentang tokoh NU bisa dihitung dengan jari. Yang paling lengkap barangkali "Sedjarah Hidup KHA Wahid Hasim dan karanganTersiar" yang disusun oleh H. Aboebakar, Kepala Bagian "D" Kementrian Agama berdasarkan SK Menteri Agama RI (waktu itu, KH. Mohammad Ilyas).

Buku terjemah atau biografi lainnya yang saya ketahui adalah tentang KH. A. Wahab Chasbullah oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri; tentang KH. Bisri Syansuri oleh Gus Dur; tentang KH. Ma'shoem Lasem oleh Sayyid Haidar; tengtang KH. R. Asnawi, Kudus yang disusun oleh keluarga dalam rangka haul beliau.

Riwayat hidup Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy'ari justeru saya temukan belakangan dalam kitab cetakan Kuwait dan disusun oleh Sayyid Muhammad Asad Syihab dengan judul agak panjang: Al-'Allaamah Asy-Syeikh Muhammad Hasjim Asj'ari Waadli 'ulabinati istiqlaali Indonesia (Al-Allamah Kiai Muhammad Hasjim Asj'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia).

Berbicara tentang "budaya tulis menulis" di kalangan NU, mungkin Pak Saifuddin Zuhri termasuk, kalau tidak satu-satunya, pengecualian. Beliau bukan saja penulis yang produktif, tapi juga aktif merekam sejarah tentang tokoh-tokoh kiai pesantren. Dari tangan beliau lahir banyak tulisan yang bukan saja sangat bermanfaat bagi NU dan warganya, tapi juga bangsa Indonesia secara umum. Fajazaahullahu 'anna ahsanal jaza.

Dari tangan beliau, muncul buku-buku antara lain: Almaghfurlah K.H. Abdul Wahab Chasbullah Bapak dan Pendiri NU yang sudah disinggung di atas, Guruku Orang-orang dari Pesantren, dan Berangkat dari Pesantren, sebuah otobiografi beliau sebagai pelaku dan pembuat di republik kita ini.

Maka tidaklah mengherankan―bahkan mungkin sudah seharusnya―jika sekaran ini, sebuah yayasan bernama Yayasan Saifuddin Zuhri menerbitkan suatu buku kumpulan tokoh-tokoh pesantren, tokoh-tokoh NU.

Barangkali seperti apa yang ingin ditulis Syeikh Yasin, Allah yarhamuh―seperti juga thabaqaat-thabaqaat yang lain―apa yang ingin dipersembahkan oleh Yayasan Saifuddin Zuhri adalah kumpulan biografi para tokoh dengan satu kriteria dasar, dalam hal ini adalah ke-kiaian (baca:ke-ulama-an, dan ke-Indonesia-an di NU).

Kiai mengenal banyak buku-buku atau kitab kumpulan tokoh-tokoh dengan satu kriteria dasar yang ― galibnya bisa dilihat dari judulnya ― seperti Thabaqaat-nya Syeikh Yasin itu. Ambil contoh Asad Al-Ghababah oleh Ibn al-Atsier tentang para sahabat Nabi; Tariekh al-Khulaffa oleh al-Hafifdh Jalaluddin as-Suyuthy dengan kriteria dasar ke-khalifah-an; Thabaqaat as-Shuufiyah oleh Abu Abdurrahman as-Sulamy dengan kriteria dasar ke-sufi-an; Jamharat al-Auliyaa oleh as-Sayyid Mahmoud Abu al-Faidi al-Manouty al-Husainy dengan kriteria dasar ke-wali-an; The 100, Rangking of the Most Influental Persons in History oleh Michael H. Hart (diterjemahkan oleh H. Mahbub Djunaidi dengan judul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah) dengan kriteria dasar ke-berpengaruh-an (?) dalam sejarah; The Dictators oleh Jules Archer dengan kriteria dasar, tentu saja, ke-diktator-an; dan masih banyak lagi.

Kecuali bila kita akan menulis semua tokoh kia dan ini tentu tidak mungkin, maka kriteria dasar ke-kiai-an itu saja tentulah tidak cukup. Apalagi meski­pun sudah dipersempit dengan tambahan "NU", kriteria kiai ternyata tidak sejelas, misalnya, kriteria sahabat Nabi, kriteria khulafa, atau diktator.

Karena itu Yayasan Saifuddin Zuhri telah mene­tap­kan kriteria-kriteria lain, di samping kriteria ke-kiai-an tersebut, antara lain pernah menjadi pengurus syuriah, mustasyar NU atau jabatan struktural lain di dalam NU pada tingkat nasional atau lokal; sudah wafat dan diutamakan yang memimpin pesantren dan seterusnya.

Namun demikian, dengan menampilkan "hanya" 26 tokoh kiai, boleh jadi masih saja akan timbul pertanyaan seperti: kenapa hanya duapuluh enam? dan kenapa mereka itu yang ditampilkan?

Kalau benar akan ada pertanyaan demikian ya biar saja. Agaknya kita harus memaklumi kesulitan Yayasan Saifuddin Zuhri dan para penulisnya yang hampir seluruhnya angkatan muda. Rentang waktu yang cukup panjang dan sedikitnya literatur yang tersedia, merupakan alasan yang cukup masuk akal sebagai jawaban.

Barangkali bisa menjadi salah satu bukti bahwa dari 26 tokoh yang ditampilkan kali ini, uraian yang relatif lebih luas justeru menyangkut mereka yang hidup belakangan. Bandingkan misalnya, uraian tentang KH. Bisri Syansuri (1886-1980) dan KH. Machrus Ali (1906-1985) yang mencapai masing-masing 20 dan 21 halaman dengan misalnya, KH. Ridlwan Abdullah (1884-1962) yang hanya 12 halaman dan KH. Abbas, Buntet yang hanya 9 halaman saja.

Disamping itu, mungkin yang lebih penting lagi: tampaknya yayasan dan para penulisnya ― karena alasan yang barangkali sama ― juga mengalami kesulitan untuk menangkap "sudut pandang" yang tepat dalam membidik sosok masing-masing tokoh yang ditampilkan. Dan inipun, bila benar, juga bisa dimaklumi. Satu dan lain hal karena rata-rata tokoh yang ditampilkan memang memiliki tidak hanya satu "sudut keistimewaan" yang menonjol. Contoh yang segera dapat kita lihat adalah sosok tokoh KH. Hasyim Asy'ari. Beliau tidak hanya pendiri NU dan tokoh sentral yang memberi inspirasi perjuangan para kiai; apalagi sekadar pembela kaum bermadzhab. Mereka yang membaca Muqaddimah Qanun Asasi NU saja, akan segera tahu bahwa beliau lebih dari semua. (Bahkan Sayyid Muhammad Asad Shihab ― konon kakek dari Dr. Quraish Shihab ― menulis biografi beliau dalam bahasa Arab berjudul Al'Alamah Muhammad Hasyim Asy'ari Waadli'u Labinati Istiqlali Indonesia yang kalau diterjemahkan secara harfiah: Mahakiai Muhammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.

Namun itu semua bagi saya tidak mengurangi arti penting dari usaha penerbitan ini. Bahkan menurut saya, yang lebih penting dan pantas sekarang adalah mensyukuri terbitnya buku ini. Buku yang sudah lama dinanti dan sudah sering diusulkan oleh banyak warga NU sendiri di berbagai kesempatan. Penyempurnaan berikutnya akan dapat dilakukan atau malahan untuk itu, saya yakin, akan mendapat bantuan dari berbagai pihak yang telah membacanya.

Dengan demikian keteladanan para tokoh NU yang selama ini hanya menjadi "buah bibir" sepenggal-sepenggal dalam konteks mau'idhah atau nostalgia, akan dapat dibaca dan dipelajari dengan lebih intens dalam porsi yang lebih utuh.

Sekali lagi, kita semua sungguh mensyukuri dan sangat menghargai upaya dari pihak Yayasan Saifuddin Zuhri yang tak ternilai ini. Semoga ini dicatat Allah pula sebagai amal jariah yang lestari.

Dan mudah-mudahan buku ini masih akan "bersambung" bahkan menjadi semacam "serial tokoh NU" yang akan menyempurnakan manfaatnya bagi generasi NU khususnya dan masyarakat ramai pada umumnya.

Wallahu Yuwaffiquna ila ma fiehi khairul Islami wal muslimin


Daftar Isi

Sambutan Penerbit ……………………………………

Pengantar KH. A. Mustofa Bisri ………………….

Daftar Isi Oleh KH. A. Mustofa Bisri ……………

1. Kiai Cholil (1235 H-1343H)

Pencetak Kiai-kiai Besar Bertangan Dingin ……..

2. KH. R. Asnawi )1861-1959)

Membentengi Ahlussunnah wal-Jama'ah ………..

3. Hasan Gipo (1869-1934)

Ketua Tanfidziyah NU Pertama ……………………..

4. KH. Ma'shum (1870-1972)

Pengawal Tradisi Fiqih Sunni ……………………….

5. KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (1871-1947)

Bapak Kaum Santri, Pembela Tanah Air ………….

6. KH. Mas Abdurrahman (1875-1942)

Menyatukan NU dan Mathlaul Anwar …………….

7. KH. Abbas (1879-19460)

Mutiara dari Buntet Pesantren ………………………

8. KH. Ridlwan Abdullah (1884-1962)

Pencipta Lambang NU ………………………………

9. KH. Bisri Syansuri (1886-1980)

Tegar dengan Prinsip ……………………………..

10. KH. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971)

Perintis Tradisi Intelektual NU ………………………

11. KH.R. As'ad Syamsul Arifin (1897-1990)

Tokoh Kharismatik yang Tampil di Saat Kritis …

12. KH. Abdullah Ubaid (1899 1938)

Pendiri Ansor yang Gemar Bersepeda Motor …..

13. KH. Masykur (1900-1992)

Pendiri Barisan Sabilillah dan Penuang yang konsisten

14. KH. Mahfudz Siddiq (1906-1944)

Organisator Ujung dari Pesantren …………………

15. KH. Mahrus Ali (1906-1985)

Kiai Moderat dan "Juru Islah" dari Lirboyo ……

16. KH. Zainal Mustafa (1907-1944)

Pejuang dari Sukamanah ……………………………..

17. KH. Thohir Bakri (1908-1959)

"Gatutkaca" dari Praban ………………………………

18. KH. Muhammad Dahlan (1909-1977)

Pemrakarsa MTQ dan Bedirinya PTIQ …………

19. KH. Muchammad Ilyas (1911-1970)

Cerdas dan Teguh Pendirian …………………………….

20. KH. Abdul Hamid (1333 H-1985 M)

Semua Orang Merasa Paling Disayang …………..

21. KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953)

Berprestasi Besar pada Usia Muda …………………..

22. KH. Musthofa (1915-1977)

Ulama Pengarang yang Produktif …………………….

23. KH. Ali Ma'shum (1915-1989)

Mengantarkan Perubahan ………………………………

24. KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986)

Santri, Wartawan dan Pejuang ……………………..

25. KH. Achmad Siddiq (1926-1991)

Menjernihkan Hubungan Pancasila dengan Islam….

26. KH.Prof.Dr.Mohammad Tolhah Mansoer (1930-1986)

I n d e x ………………………………………………………………………

RANGKUMAN

Sewaktu utusan Bung Tomo datang menghadap Hadratussyekh Hasyim Asy’ari di kediamannya, Te­buireng, Jombang ..… Menjelang meletusnya pertem­pur­an 10 November 1945 …. Untuk mengabarkan mendaratnya tentara Inggris di Surabaya, Kiai kharismatik ini tampak tertegun. Sang utusan me­nyam­pai­kan pesan Bung Tomo, agar Hadratussyekh mengungsi ke luar kota, untuk menjaga keselamatan. Keadaan memang mencekam. Beberapa orang malah sudah menyingkir ke luar kota.

Dengan halus usulan itu ditolak. Beberapa orang terdekatnya, termasuk para santri, mengira KH. Hasyim Asy’ari punya kesaktian tertentu untuk meng­hadapi tentara Inggris.

Tiba-tiba KH. Hasyim Asy’ari memanggil salah seorang puteranya. “Mana, saya kasih pinjam pistolmu itu,” katanya. Sebuah pistol bermerk Vickers diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari. Itulah untuk yang perta­ma kalinya pendiri Nahdlatul Ulama ini memegang senjata api.

“Masak dengan senjata ini saya tidak bisa menembak satu-dua orang tentara Inggris yang akan masuk kesini?” ujarnya sambil belajar menembak.

Dugaan bahwa KH. Hasyim Asy’ari akan meng­guna­kan kesaktiannya dalam menghadapi pasukan Inggris meleset. Urusan duniawi dihadapi dengan cara duniawi yang serba kasat mata, logis dan manusiawi.

KH. Hasyim Asy’ari, juga banyak kiai yang lain, pada umumnya memang dipercayai masyarakat memiliki “kekuatan supranatural” atau karomah. “Kekuatan supranatural” itu seperti dipercayai masyarakat, bisa mereka gunakan untuk kepentingan tertentu.

Anggapan masyarakat seperti itu adalah sesuatu yang nyata. Sedangkan jagat kehidupan para kiai yang serba rasional dan manusiawi juga merupakan sesuatu yang nyata pula. Itulah jagat kiai. Sebuah jagat yang terkadang serba rasional dan manusiawi, sebagaimana kehidupan tokoh-tokoh lain, tapi terkadang penuh misteri.

Buku Menapak Jejak Mengenal Watak (Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama) ini mewartakan banyak hal tentang jagat kehidupan para ulama dengan berbagai segi dan dimensi. Terlepas dari segi-segi yang tergolong rasional dan manusiawi serta segi-segi yang menyimpan banyak misteri dan tidak rasional, biografi para tokoh dan ulama Nahdlatul Ulama ini penuh muatan nilai keteladanan. Karakter hidup diantara tokoh yang satu dan tokoh yang lain mungkin saja berbeda. Tapi ada satu kesamaan … dan itulah pelajaran berharga …. Yang telah ditampilkan dari perikehidupan mereka: hidupnya diabadikan untuk mendidik, berjuang dan ber-amar ma’ruf nahi munkar secara ikhlas.
Selengkapnya...

KH. Abbas (1879-1946)

MUTIARA dari BUNTET PESANTREN

KH. ABBAS
Lahir: di Desa Pekalangan, Ci-
Rebon, Jawa Barat, pada tanggal
24 Zulhijjah 1300 H/1879 M.
Wafat: 1 Rabiul Awal 1365
H/1946 M. Dimakamkan di
Buntet Pesantren.
Pendidikan: Pesantren Sukanasari,
Plered, Cirebon; Pesantren Jatisari;
Pesantren Tegal; Pesantren Tebuireng,
Jombang; Mekkah Mukarramah.
Pengabdian: Pengasuh Pesantren
Buntet, Cirebon; ikut mendirikan
Pesantren Lirboyo, Kediri; dan
dikenal sebagai pejuang.

SETIAP usai shalat Dhuhur atau ashar, sebuah langgar yang berada di Pesantren Buntet, Cirebon itu selalu didesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, bahkan juga ada yang dari Jawa Tengah. Jangan kaget, mereka bukan para santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan: inilah masyarakat yang hendak meminta ilmu kesaktian pada sang guru.
Sang guru, siapakah gerangan? Dia adalah Kiai Abbas bin KH. Abdul Jamil yang menempati langgar sederhana itu. Di langgar yang beratap genteng itu, ada dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang terbuka inilah Kiai Abbas yang berperawakan agak gemuk dengan kulit sawo matang itu menerima tamu tak henti-hentinya. Saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun. Rambutnya yang lurus dan sebagian sudah memutih, selalu menutupi peci putih yang dilengkapi serban ― seperti lazimnya para kiai. Ia tak lagi mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas.(Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")



Selengkapnya...

KH. Muhammad Dahlan (1909-1977)

PEMRAKARSA MTQ dan BERDIRINYA PTIQ

KH. MUHAMMAD DAHLAN
Lahir: 2 Juni 1909 di Desa Mandaran,
Rejo, Pasuruan, Jawa Timur
Wafat: 1 Februari 1977. Dimakamkan
Di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.
Pendidikan: Pesantren Siwalan,
Panji, Sidoarjo; Pesantren Tebuireng,
Jombang; Mekkah Mukarramah.
Perjuangan/Pengabdian: Pendiri
NU Cabang Bangil; Konsul NU Daerah I
Jatim, anggota Dewan MIAI, anggota
Dewan Partai Masyumi, Ketua Umum PBNU,
Anggota Konstituante, Menteri Agama,
dan anggota DPA.
KALA itu bulan Ramadhan, tahun 1939. Seorang pemuda berusia 30 tahun sedang asyik menelaah sejumlah kitab berbahasa Arab selepas Shalat Tarawih. Hujan deras sejak Magrib yang mengguyur Desa Mandaran Rejo, Pasuruan, Jawa Timur masih menyisakan udara yang cukup dingin, dihembuskan semilir angin pada tengah malam sekitar pukul 22.00.
Tiba-tiba terdengar tabik salam dibarengi ketukan pintu, tanda ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Pemuda itu mempersilahkan tamunya masuk kedalam rumah. Sambil mengingat-ingat siapa tamu yang baru pertama kali dijumpainya, pemuda itu mengamati sosok perawakan sang tamu. Setelah memperkenalkan diri, tahulah tuan rumah, bahwa tamunya adalah kakak kandung sahabatnya ketika ia mengenyam pendidikan di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, Jawa Timur, sekitar 20 tahunan yang lalu. Sang tamu menceritakan maksud kedatangannya. Sejak tiga hari yang lalu ia menderita sakit gigi, dan sejak lepas Maghrib tadi rasa sakitnya kian menjadi-jadi. Atas saran adiknya, ia bermaksud memohon kesediaan tuan rumah untuk menyembuhkan sakitnya itu.(Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kiai ini ada di Buku"MENAPAK JEJAK MENGENAL WATAK,Sekilas Biografi 26 Tokoh NU")



Selengkapnya...

 

Album

KH. Saifuddin Zuhri memberi sambutan pada acara Harlah NU ke-40, tahun 1966...

Album

KH. Saifuddin memberikan gelar Doktor Honoris Causa Bidang Da'wah kepada Presiden RI Ir. Soekarno, pada tanggal 02 Desember 1964

bingkai foto

Album

KH. Saifuddin Zuhri (no. tiga dari kanan) bersama Delegasi Indonesia lainnya yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, akan bertolak untuk menghadiri Konperensi Asia Afrika II di Aljazair, 26 Juni 1965